AKU ANTROPOLOGI – AKU UI (INDONESIA):

SEBUAH CATATAN-CATATAN HATI (HEART NOTES)

Oleh

NANA SUTISNA / 0900070187 – Antropologi UI/ 2000

Kami adalah kaum miniaturis dari ilmu-ilmu sosial, yang melukis pada kanvas-kanvas liliput dengan coretan-coretan yang kami anggap sangat halus. Kami mengharapkan untuk dapat menemukan didalam yang kecil apa yang lolos dari perhatian kami didalam yang besar, siapa tahu kami beruntung menemukan kebenaran-kebenaran umum sambil menyaring kasus-kasus yang khusus.” (Clifford Geertz ; 1982 )

Linglung  di jalan Antropologi

 Era tahun 2000-an bagi sebagian kalangan pelajar SMA di Jakarta nama antropologi bukanlah sesuatu yang asing, namun bukan pula menjadi sesuatu yang favorit untuk digeluti secara mendalam jika dibandingkan dengan ilmu hubungan internasional,  ilmu ekonomi dan ilmu hukum. Namun, bagi saya nama antropologi adalah sesuatu yang unik, sesuatu yang baru saya dengar ketika ikut bimbingan belajar, karena selama saya sekolah STM (Sekolah Teknik Menengah)- sederajat dengan SMA –  hampir-hampir saya tidak pernah mendengar nama antropologi, sesuatu yang asing dan tak pernah terbayangkan. Selama tiga tahun itu selalu berkutat dengan kayu, semen dan batu bata yang merupakan  menjadi hal yang dipelajari oleh saya sebagai siswa STM jurusan bangunan gedung. Bagi saya melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan menjadi arsitek adalah pilihan paling rasional.

Berbekal pengetahuan anak STM yang ikut bimbingan belajar, saya memberanikan diri untuk memilih antropologi pada pilihan kedua Setelah pilihan rasional saya di arsitek pada Universitas Indonesia. Memilih antropologi bukanlah karena pilihan-pilhan rasional dan tentang cita-cita masa depan tapi lebih kepada “unik”, aneh, dan baru pernah dengar, dan tingginya harapan untuk menjadi bagian dari keluarga jaket kuning-UI. Selang waktu berlalu ternyata Tuhan memberikan saya kejalan yang unik, jalan antropologi. Suatu tahapan baru bagi harapan saya, dan saatnya mengubur mimpi membangun konstruksi bangunan fisik karena Tuhan telah menunjukan kuasanya, saatnya menatap “jalan” baru, jalan antropologi.

Hari-hari baru menapaki jalan-jalan antroplogi menjadikan diri saya menjadi “aneh”  menjadi limbung atau linglung kata orang sunda, kata–kata baru mulai merasuki pemikiran saya, kebudayaan, etnik atau sukubangsa, struktur sosial, etnografi, serta munculnya “orang-orang baru” dalam cakrawala pemikiran saya mulai dari Radcliffe Brown, Franz Boas, Bronislaw Malinowski, Clifford Geertz hingga Koetjaraningrat. “perkenalan” saya dengan antropologi boleh dikatakan tidaklah mulus karena saya sulit sekali mencerna dan memahami “jenis” bangunan ilmu apakah antropologi ini, jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan saya yang latar belakang sekolahnya dari jurusan sosial dan bahasa.

Kelinglungan saya ini membuat saya melarikan diri dari antropologi, lebih banyak menampakan diri sebagai “anak UI” dibandingkan sebagai “mahasiswa antropologi”. Mencoba aktif di berbagai aktif di organisasi mahasiswa hanya karena ingin dikenal sebagai “anak UI” yang bisa ikutan aksi, bisa ikutan teriak, namun disisi lain alpa akan jalan unik yang ditapakinya, jalan antropologi. Dua tahun dalam kelimbungan sebagai mahasiswa antropologi, akhirnya saya menemukan “sentuhan antropologi” ketika saya dapat untuk terlibat dalam pelatihan penelitian dan pendampingan masyarakat hutan bersama dengan DR. Iwan Tjitradjaja di daerah Lampung yang tergabung di P3AE (program pengembangan dan Pengkajian Antropologi Ekologi-UI). Kegiatan tersebut sebetulnya diperuntukan bagi mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah Metode Penelitian Antroplogi, sedangkan saya  baru lepas dari mata kuliah pengantar-pengantar dan sistem-sistem, karena senior saya berhalangan, saya yang dipilih untuk menggantikannya dan bagi saya ini adalah celah untuk menyelam lebih dalam ke antropologi.

Proses titik balik antropologi inilah saya temukan di Lampung bersama tim antropologi ekologi. Menemui, berinteraksi serta komunikasi dengan masyarakat ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Memetakan, menganalisa serta menuliskan masyarakat ternyata lebih indah daripada membuat sebuah gambar teknik diatas kertas kalkir. Dititik inilah saya mulai merasakan bahwa saya akan membuat “arsitektur” rumah yang lebih indah, yang dapat menjadi sumber utama penyelesaian masalah atapun konflik yang terjadi di Indonesia. Pengalaman sebagai pemula di Provinsi Lampung inilah yang pada akhirnya membawa saya untuk “menginap” di berbagai lokasi di Indonesia Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi serta gang-gang sempit di pedalaman Ibukota Jakarta. Komunitas-komunitas itulah yang saya temui yang menjadikan saya menemukan antroplogi secara faktual, hidup dan dapat saling berinteraksi. Pada titik inilah saya mulai merasa bahwa saya adalah “Anak Antropologi” yang berkuliah di UI, saya adalah “Mahasiswa Antropologi” yang ada di FISIP UI.

Menemukan Kembali Antropologi

 Seiring berjalannya waktu serta intensifnya pertemuan dan perkuliahannya dengan para “pendekar antropologi’ pasca Koentjaraningrat, yang pada akhirnya membentuk beragam warna pemikiran antropologi, antara lain adalah Prof. Parsudi Suparlan dengan antropologi agamanya, Prof. James Danandjaja dengan Foklorenya, Prof Amri Marzali, dengan peasant dan pembangunan masyarakat desa, Prof Meutia Hatta dengan sistem budaya, Prof. Ahmad fedyani dengan kekarabatan dan multikulturalismenya, DR. Iwan Tjitradjaja dengan kesempatan praktik live in dan antropologi ekologinya serta beberapa “pendekar” muda antropologi lainnya yang membuat saya “betah” dan ingin memberikan jejak kaki antropologi saya dimanapun itu saya jejakan.

Dari sekian pengalaman interaksi dengan para “pendekar antropologi” ada sebuah pengalaman yang menjadi rajutan saya untuk menemukan kembali antropologi adalah mendampingi Prof, Parsudi Suparlan, saya ada keinginan tapi juga ada ketakutan ketika harus berinteraksi dengan beliau. Hampir seluruh kuliah dengan Prof Parsudi Suparlan saya menjadi assistennya, sesuai dengan surat tugas yang saya terima dari Jurusan Antropologi, namun bagi Prof Parsudi Suparlan, saya selalu dianggapnya sebagai “ketua kelas”, menyiapkan fotokopian bahan kuliah, absensi mahasiswa, dan menjaga ujian saat UTS dan UAS adalah hal yang rutin saya lakukan, berbekal dari dari sana “mungkin “saya mahasiswa S1 yang masih diberi kesempatan merasakan dibimbing mengerjakan skripsi oleh Prof. Parsudi Suparlan walaupun tidak tuntas karena kondisi kesehatan beliau dan juga saya ada “tekanan” harus lulus cepat. Bimbingan dengan Prof.Parsudi Suparlan untuk membahas “ masalah penelitian” dan “permasalaan penelitian” saja dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan plus “dimarahi” dan ditertawai ala kuntilanak, hihihihi (mahasiswa 2000an pasti ngerti).

 Pengalaman menjadi “ketua kelas” dibeberapa mata kuliah Prof. Parsudi Suparlan yang paling membekas adalah 5 batang gudang garam merah habis berarti kelas selesai (hehehe…bercanda). Metode antropologi, live in, rapport, dan going native adalah hal yang ditanamkan, sehingga ini menjadi senjata pamungkas bagi saya ketika melakukan penelitian-penelitian lapangan. Walaupun proses –proses menjadi native tidaklah mudah ketika dilakukan dilapangan. Tantangan, Dogma, Gengsi, higienitas serta asmara sering kali menjadi penghalang dalam pikiran serta ketika mempraktikannya menjadi sulit dan kaku. Ketika mampu melewati hambatan-hambatan tersebut, maka paripurna sudah aplikasi metode antropologinya. Saya selalu teringat Film Petualangan Indiana Jones, arkeolog petualang, ada salah satu dialognya yang menginspirasi “jika ingin menjadi arkeolog yang baik, keluarlah dari perpustakaan”.

Selama melakukan kerja lapangan ada dua lokasi penelitian yang memberikan jalan bagi ditemukan antropologi sebagai keilmuan ataupun sebagai inspirasi untuk mengubah diri pribadi dalam pembentukan keberfikiran dan juga tata kelakuan ini. Dua lokasi peneltian tersebut adalah pedalaman hutan Lampung dan bantaran sungai ciliwung Jakarta.

Lampung, tepatnya di lokasi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Gunung Betung), sebuah pengalaman lapangan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan (ekologi), inilah pengalaman pertama melakukan kerja-kerja lapangan. Egoisme kota dihadapkan dengan fakta kampong ditengah hutan, berdebar-debar hati ini ketika naik ojek melalui jalan setapak yang pinggirannya adalah jurang, sekali salah ambil lintasan maka akan jumpa di dunia lain. Pengalaman transportasi ojek “crosser” pinggir jurang bagi saya adalah pengalaman lura biasa, dimana aksesibilitas,fasilitas public dan transportasi harus berdamai dengan kontur ekologi, sekali kita memperlakukan alam dengan semena-mena tak akan ada lagi fasilitas yang disediakan oleh alam.

Refeksi metodologi pada kerja lapangan di Lampung ini adalah melihat bagaimana piawainya antropolog, DR Iwan Tjitradjaja, memandu sebuah forum diskusi multistakeholder, buat saya yang pemula ini menjadi pembelajaran yang luar biasa bagaimana pemahaman akan kebudayaan, pemetaan stakeholder dan jaringan sosial menjadi kunci memahami dan memandu multistakeholder forum menjadi lebih efektif, focus dan terarah pada penyelesaian masalah. Disinilah pengalaman antropologi saya terwujud dan menjadi penanda untuk membuka dan membaca lembaran-lembaran keantropologian, terutama terkait dengan metodologi dan juga interaksi antar komunitas yang berbeda latar belakang budaya.

Pengalaman antropologis yang lain juga saya alami adalah ketika melakukan penelitian lapangan dibantaran sungai ciliwung Jakarta, pada masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran sungai Ciliwung Kampung Melayu, Jakarta. Pengalaman penelitian ada masyarakat perkotaan cenderung membuat saya lebih mudah untuk “bergaul” dikarenakan tata kehidupannya memiliki kemiripan serta status mahasiswa memberikan kemudahan tersendiri. Secara implementatif metode-metode antropologi saya aplikasikan dilapangan guna mendapatkan data-data etnografi yang mendalam, hasil penelitian lapangan mampu memahamai masyarakat secara holistic.

Hal yan ingin coba saya ungkapkan adalah dalam pengalaman kerja lapangan di bantaran sungai Ciliwung ini bukanlah pada sisi kajiannya, namun fenomena tim lapanggan dimana salah satu anggota peneliti sangat “dekat” dengan informan, sehingga diyakini sulit untuk menganalisa secara obyektif temuan-temuan lapangan.  “asmara lapangan” antara peneliti dengan informan merupakan salah satu pengalaman yang saya temui dan alami, walaupun sebetulnya kisah-kisah “asmara” ini sering saya dengar dari para kerabat-kerabat senior antropologi.

Ketika dihadapkan pada kenyataan lapangan, bahwa cerita kisah-kasih antara peneliti dengan yang ditelitinya, merupakan sebuah keniscayaan dengan metode penelitian yang antropologi terapkan. Dimana proses memahami suatu komunitas atau kebudayaan dilakukan secara pengamatan terlibat, saya lebih senang menyebutnya partisipasi total sehingga menghilangkat sekat dan jarak antara antropolog dengan informannya.  Tantangan terbesar dalam  persoalan diatas pada metodologi serta analisa data, namun inilah yang membuat saya kenal bahwa antropologi itu jalan yang “unik”,  jalan memahami diri sendiri lewat orang lain atau dalam bahasa yang lain saya “mengamini” Prof. PM Laksono bahwa kebudayaan itu adalah “tahu sama tahu” dalam  ceramah antropologinya yang saya dengar di acara Koetjaraningrat Memorial Lecture. (tahunnya lupa)

Refleksi: Antropologi sebuah pondasi arsitektur kebhinekaan Indonesia

Catatan, oretan serta menapaki jalan antropologi sedikit banyak memberikan cakrawala baru dalam kerangka berfikir saya dalam memahami realias dunia saat ini.  Perjumpaan serta interaksi saya dengan para “pendekar” antropologi menambah luas pemahaman saya dalam memahami antropologi sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai kerangka pikir dalam memamhami dunia dari salah satu sisinya.  Sampai saat ini hati saya bangga menjadi bagian dari orang-orang yang pernah menimba ilmu antropologi, dan selalu menampilkan untuk mengakui disiplin keimuwan saya adalah antropologi

Konsep-konsep antropologi seperti, kebudayaan, Sukubangsa, sistem kekerabatan,  dan masih banyak lagi konsep elementar dalam ilmu antropologi yang dapat menjadi pondasi bangunan ataupun arsitektur sosial budaya. Konseptual antropologi dapat menjadi rancang bangun kebudayaan nusantara sebagai sarana dan wahana untuk saling mengenal dan memahami Indonesia sebagai sebuah bangsa melalui antropologi. Kekayaan lain dari antropologi terletak pada kuatnya metodologi dan laporan etnografinya, pengalaman pengalaman lapangan mengajarkan dan juga memberikan inspirasi bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial yang harmonis. saya ingin mengutif penyataan Antropolog dari Namibia, Robert Gordon, yang dituliskan kembali oleh   William A. Haviland (1999) dalam buku Antropologi 1 “Kalau ilmuwan sosiologi atau politik dapat mengamati keindahan bunga tangkai demi tangkai, maka ahli antropologi adalah orang yang berdiri dipuncak gunung dan memandang keindahan medan”. Dengan kata lain perkataan kita mencoba untuk memperoleh persektif yang lebih luas (holistic Perspective). (William A. Haviland)

Kekuatan antropologi bagi saya adalah metode etnografinya, sehingga hal-hal “diluar pikiran” akan mempengaruhi pribadi kita sebagai manusia melalui temuan-temuan etnografinya. Seperti apa yang diungkapkan oleh James P Spreadley (1997)“Kalau Anda hanya melihat riak gelombang, Etnografi menyelami dalamnya dasar lautan !”  Inilah yang menjadi refleksi tersendiri, bahwa keberagaman adalah keniscayaan dan Indonesia adalah lautan terdalam antropologi.

 

######

 

Tana Ntautua Mami Retu

Sekatuvu Mami

Nempo Masiasi re Tana Mami

 “Tana Leluhur Hidup Kami,  Biar Hidup Sederhana,  Asalkan di Tanah Kami”

(sumber: http://www.kompasiana.com/azmibone/tau-taa-wana-dalam-derap-perubahan-mondial)

Syair diatas merupakan sastra lisan dari orang Wana yang mereka sebut dengan nama kayori.  Syair kayori diataslah yang membawa cerita ini pada pengalaman perjalanan saya di Pedalaman hutan Morowali. Pertengahan tahun 2015 keinginan saya untuk sampai ke wilayah pedalaman hutan Morowali di kawasan pegunungan Tokala terlaksana juga. Perjalanan ke wilayah pedalaman Morowali bukanlah untuk berlibur ataupun tamasya, namun turut bersama tim dokumenter untuk pembuatan dokumentasi tentang kehidupan masyarakat suku Tau Taa Wana atau masyarakat di sekitar pegunungan Tokala menyebutnya sebagai orang Wana, yakni orang yang tinggal di dalam hutan.

Eksotisme pengalaman dan perjalanan ini dimulai dari sungai bongka dengan berjalan kaki sekitar 4 jam perjalanan mendaki menuju pemukiman kampung Uekoyo. Diawali menyeberang sungai bongka dengan menggunakan rakit bambu dan dilanjutkan dengan berjalan kaki mendaki bukit, keindahan alam pegunungan, kicauan burung serta cucuran keringan dan rasa ngos-ngosan menemani perjalanan ini. Di wilayah sepanjang jalur sungai bongka pedalaman hutan Morowali inilah komunitas orang Wana tinggal dengan segala pola kehidupan sosial budayanya yang berhubungan erat dengan sumberdaya hutan.

Orang Wana yang masih tinggal di pedalaman hutan membangun serta membentuk pola-pola pemukiman sejenis dengan perkampungan disebut dengan lipu. Lipu adalah unit sosial terkecil masyarakat di Suku Tau Taa Wana, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga. Setiap lipu dipimpin oleh seorang yang dituakan dan dianggap memiliki kekuatan supranatural yang disebut To Tua Lipu. Pandangan hidup orang Wana terhadap hutan yang ada di wilayah pemukiman orang Wana dianggap memiliki ruh, sehingga dipercaya menjadi bagian organik dari kehidupan sosial budaya orang Wana. Kehidupan agraris orang Wana bersinergi dengan alam dengan pola perladangan rotasi , yakni sistem ladang berpindah namun akan kembali pada ladang pertama setalah proses penyuburan tanah  terjadi. Proses rotasi perladangan ini dilakukan sebagai bentuk adaftif dengan alam untuk menjaga keseimbangan lingkungan alam yang terjadi di wilayah orang Wana, sehingga konsepsi hutan lestari sudah lama di praktikkan oleh masyarakat di pedalaman hutan Morowali.

Pembelajaran kehidupan, hubungan manusia dengan alam dan lingkungan serta menikmati keindahan kehidupan sosial budaya yang penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan menggambarkan bahwa perjalanan yang saya alami memberikan pengalaman serta rasa yang tertanam di alam pikiran dan hati saya. Bagaimana proses kesederhanaan hidup yang dilakukan orang-orang Wana membuat mereka tetap bersahaja dan harmonis tanpa dipengaruhi oleh berbagai teori dan simbolisasi modernitas yang njilemet.

 

 

AKU BERTANYA, AKU TAHU, AKU ADA DAN TIDAK TERSESAT

Sebuah kisah tentang mau bertanya

Mengorganisikan rasa ingin tahu.

Cogito Ergo Sum” sebuah ungkapan yang terkenal dari Rene Descartes, seorang filosof beraliran rasional dan juga merupakan pembaharu pemikiran filsafat di abad ke 17. Artinya dari ungkapan tersebut “ aku berpikir, maka aku ada” sebuah kalimat yang memiliki makna yang sangat dalam terkait dengan kehidupan dan kita sebagai manusia. Melalui proses-proses berpikir inilah akan memunculkan renungan-renungan pertanyaan tentang segala hal dalam kehidupan ini. Oleh karena setiap waku akan ada proses berpikir, sehingga pertanyaan akan selalu ada dalam kehidupan dan selalu mengikuti kita.  Hal inilah yang muncul karena pikiran adalah sumber keberadaan.

Beranjak dari pendangan tersebut maka hal-hal terkait dengan ketidaktahuan merupakan bagian hal yang terus ada dalam diri manusia, yang juga merupakan bayang-bayang dalam perjalanan kehidupan manusia. Oleh karena pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam pikiran harus di organisir menjadi sebuah rasa ingin tahu agar memahami dan menata hal-hal yang belum tahu menjadi tahu serta membuat kita semakin tidak tersesat dalam pengetahuan.

Mengorganisir pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikiran agar menjadi sebuah rasa ingin tahu yang mendalam merupakan salah satu cara untuk terus membangun ketajaman dalam mencari informasi ataupun merangkai keingian untuk mengeluarkan rasa ingin tahu menjadi kenyatan untuk bertanya. Disinilah titik awal bermula bahwa bertanya dengan tujuan mencari pengetahuan ataupun informasi menyeluruh merupakan point utama dalam menjalani kehidupan dari setiap sisinya.

“Aku mau bertanya”

Melakukan sebuah tindakan untuk “bertanya” diperlukan sebuah keberanian, terutama keberanian untuk melawan rasa malu, rasa tidak tahu apa-apa dan juga gensi diri. Peristiwa inilah yang menjadi kisah serta cerita pengalaman yang pernah saya alami terkait sebuah tindakan “bertanya”. Oleh karenanya awalan pembuka kisah ini saya sebut sebagai upaya mengorganisasikan rasa ingin tahu, karena tindakan implementataif dari rasa ingin tahu diawali dengan “bertanya”, oleh karenanya perlu mengorganisasi rasa ingin tahu tersebut agar menumbuhkan keberanian untuk melawan berbagai rasa yang saya sebutkan diatas.

Saya termasuk yang lambat bersentuhan dan memahami era teknologi digital dan teknologi informasi, hingga ketika memasuki dunia kampus saya bukan hanya gagap dengan teknologi tapi juga teramat takut bersentuhan dengan dunia teknologi, dalam hal ini komputer serta internet, dan pada masa itu handphone pun saya tidak memilikinya, lengkap lah sudah ketakutan saya berhadapan dengan teknologi.

Hari pertama, bulan pertama masa-masa di kampus belum terasa jika saya terindikasi ada persoalan dengan kemampuan mengoperasikan komputer, terutama MS Word, yang bagi kebanyakan mahasiswa program ini program dasar dan utama sehingga asumsinya semua mahasiswa sudah menguasai hal mendasar tersebut. Memasuki masa-masa pertengahan ujian semester disinilah saya mulai semakin merasakan bahwa saya tidak bisa dan takut menggunakan perangkat komputer dan awam dengan dunia internet, terutama terkait dengan ujian take home test dan membuat makalah. Bagi kebanyakan orang akan sangat “aneh” ketika sudah memasuki dunia kemahasiswaan tapi masih saja gagap teknologi, terlebih lagi tidak dapat mengetik menggunakan MS Word program, bagi saya pribadi bukan saja aneh tapi sesuatu yang membuat saya minder, yang pada akhirnya sulit bagi saya untuk melawan rasa malu, bahkan hanya untuk sekedar bertanya.

Pada awalnya terasa sangat sulit bahkan mulut ini terasa membisu untuk bertanya pada teman-teman saya, karena takut dianggap kurang pergaulan, gagap teknologi, yang kesimpulannya adalah bahwa masih ada rasa gengsi dalam diri saya. Rasa gengsi inilah yang membuat rikuh dan kaku sehingga menutupi rasa keingintahuan saya ataupun bahwa menutupi solusi kehidupan dalam menjalani tahun-tahun kedepan.  Akhirnya saya harus memulai untuk bertanya, mengorganisasikan rasa ingin tahu,  membuka mulut yang membisu dan memunculkan keberanian dan menghilangkan kegengsian dalam diri ini.

“Bertanya” adalah Kunci: Menemukan jalan agar tidak tersesat.

Dengan harapan ingin menjalani kehidupan ini agar lebih mudah, maka atas dasar itulah saya bertanya kepada teman-teman di tempat saya kost tentang apa itu komputer dan bagaimana bisa mengetik dengan menggunakan program MS Word (MS office).  Akhirnya perlahan namun pasti saya diberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan saya dan juga langsung mempraktikan bagaimana saya belajar mengetik dengan komputer melalui program MS Word.

Berawal dari MS Word program itulah akhir saya berkenalan lagi dengan internet, belajar browsing, googling serta chatting dan segala hal terkait dengan kemajuan teknologi digital saya diperkenalkan oleh teman saya, dan ini bermula dari sebuah tindakan bertanya tentang rasa ingin tahu saya, bagaimana caranya mengetik melalui komputer?

Tak terasa 15 tahun sudah dari peristiwa bertanya tersebut, hari ini saya menuliskan kisahnya  dengan mengetik menggunakan laptop saya dan mencari sumber informasi dengan menggoogling dari internet. Sebuah kisah dan pengalaman yang cukup berharga buat saya, karena pada akhirnya saya merasa tidak tersesat dalam dunia ini berhadapan dengan teknologi komunikasi yang semakin dinamis. Semua kisah ini diawali dengan bertanya yang menjadi kunci untuk melangkah dalam proses masa depan. Aku bertanya, aku tahu, aku ada dan aku tidak tersesat.

#######

 

 

 

 

 

 

Tonggak Baru Indonesia

 Pesta demokrasi dengan menampilkan pasangan Jokowi dan JK sebagai presiden Republik Indonesia memberikan banyak analisis dari para ahli terkait dengan kemenagan politik pasangan ini.  berbagai kalangam dari latar belakang keahlian memberikan sudut pandang dan analisisnya seprti yang dianalisi oleh Prof hamdi Muluk, pakar psikologi politik yang menelisik terkait dengan kepribadian pasangan jokowi-JK sehingga memberikan efek terpilihnya pasangan tersebut. Berbagai ahli pun mencoba memberikan pandangannyata terkait dengan peran-peran media maupun social media dalam memainkan arus politik yang ada saat ini, dalam pandangan pakar komunikas politik peranan media dalam melakukan pencitraan begitu kuat sehingga dapat terus terekam dalam ingatan public.

Kemenangan politik pasangan Jokowi-JK membawa harapan baru bagi public untuk melihat Indonesia sesuai dengan program nawacita Jokowi. Prof Ikrar Nusa Bhakti  menilai kemengan Jokowi-JK merupakan tinggak sejarah baru dengan menilai pada pencapaian karir JOkowi yang diawali dari walikota, Gubernur dan akhirnya terpilih sebagai Presiden dan begitu pula dengn JK yang terpilih kembali sebagai wakil presiden.[1]  Dengan kombinasi yang ada pada pasangan ini menjadikan optimisme public semakin kokoh, dan juga membuka ruang-ruang harapan baru yang bagi masyarakat. Berbagai macam ekspektasi masyarakat tertumpah dalam amanatnya yang dititipkan pada presiden yang baru di republik ini.

Dialektika Menjelang  Satu Tahun

Perjalanan kepemimpinan Jokowi-JK dalam menakhodai bangsa ini terus berjalan hampir satu tahun sejak dilantik menjadi Presiden dan wakil presiden, namun dalam proses perjalanan yang baru in pula sudah banyak hal-hal problematic yang harus dihadapi dan harus diperlakukan secara hati-hati karena kepemimpinan ini merupakan harapan dan selara baru bagi public. Persolan problematic yang muncul terus kepermukaan dan menyentuh masyarakat secara luas adalah terkait dengan kenaikan harga BBM , konflik aparat penegak hukum antara polisi dan KPK,dan juga persoalan pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Harapan masyarakat yang begitu kuat, analisis-analisis yang menggambarkan kekuatan dari pasangan jokowi-JK mengalamai dialektisnya disaat kepemimpinan hampir berumur satu  tahun. Ekpekstasi yang begitu kuat seakan-akan mulai meredup, seperti yang tercermin dalam survey yang di lakukan oleh LSI-Denny JA pasca kenaikan harga BBM sekitar 43,82% menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi-JK[2], survey juga dilakukan oleh Poltracking Indonesia yang menggambarkan bahwa public cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan jokowi-JK sebesar 48.5 %  Angka sebesar 48,5 persen itu gabungan dari penilaian publik yang sangat tidak puas (5,8%) dan kurang puas (42,7%). Sementara penilaian masyarakat yang puas sebesar 44 persen yaitu gabungan cukup puas (40,5%), dan sangat puas (3,5%). Tidak tahu/tidak jawab (7,5%)[3]. Dalam analisis direktur poltracking Indonesia , Hanta Yudha, bahwa persolan kebijakan kenaikan harga BBM serta polemik dan konflik antara penegak hukum menjadi preseden buruk dimasyarakat.

Menjelang satu tahun kepeminpinan Jokowi-JK menjadi  diskursus menarik  karena dialetika kepemimpinan jokowi adalah dialektika soal harapan dan cita-cita dalam proses waktu yang berjalan harapan public yang begitu besar seakan-akan tergoyahkan dengan berbagai problematik yang ada. Menimbang antara harapan masyarakat dan gaya serta  kebijkan politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi  menjadi sebuah renungan yang mendalam untuk melihat gaya politik Jokowi  dalam perspektif yang lain.

Kepemimpinan Politik Jokowi: Telaah Antropologi

Problematika yang hadir dalam rentang masa satu tahun kepemimpinan Jokowi-JK telah memberikan penilaian tersendiri dikalangan masyarakat terkait dengan gaya dan kepemimpinan jokowi, bahkan muncul keraguan apakah kepemimpinan saat ini mampu memenuhi harapan masyarakat atau public yang luas.Pandangan pada implementasi kebijakan terkait dengan regulasi harga BBM yang cenderung turun naik, konflik aparat penegak hukum serta tidak memiliki power politik yang kuat dan aktif, sehingga hal tersebut  memberikan pandangan mengapa kepemimpinan jokowi dianggap tidak memenuhi harapan masyarakat.

Gaya politik dan kepemimpinan Presiden Jokowi berbagai kalangan menilai bahwa kekuatannya tidak terlalu kuat karena struktur dalam internal partai pengusung Jokowi lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan. Namun hal ini menarik jika kita melihat bagaimana polemic penetapan Kapolri, yang mana telah dibatalkan penetapan Budi Gunawan sebagai calon kapolri, beberapa pakar seperti DR. Salim Said[4] menilai langkah Jokowi sebagai langkah Kuda, walaupun ada dominasi internal namun langkahnya sulit terbaca.

Telisik dari kasus tersebut diatas bahwa langkah-langkah pengembilan keputusan Presiden Jokowi perlu dipahami sebagai suatu perilaku budaya yang mana proses-proses berpikir dan penentuan kebijakan merupakan bentuk implementasi dari cara pandanya terhadap kekusaan dan kepeimpinan. Oleh karena memahami Presiden Jokowi dalam perspektif Antropologi politik tidak dapat dilepaskan dari unsur dan konsep kepeminpinan dan  kekuasaan serta nilai-nilai budaya Jawa yang tertanam dalam dirinya sebagai manusia yang lahir  dalam kultur masyarakat Jawa. Memahami orang Jawa, seperti halnya juga memhami dari masyarakat pada etnis-etnis yang lain, memiliki pandangan hidup terkait dengan dunia (world view), sehingga pandangan hidup manusia Jawa terhadap dunia merupakan system filosofis yang menjadi struktur acuan manusia Jawa dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi secara sosial dengan ruang-ruang public yang dilakoninya.

Pandanga dunia orang Jawa tidak memisahkan realitas yang ada dalam kehidupannya, sehingga pemaham akan dunia dalam pikran Jawa adalah merupakan satu kesatuan. Aryaning Arya Kresna[5] (2009) menyebutkan bahwa Orang Jawa memahami dunia dan ruang tempatnya berdiam sebagai entitas yang tidak terpisah dari kesadarannya. Bahkan bukan hanya menyatu dengan kesadarannya yang terbuka-ke-dalam, eksistensi manusia Jawa tertelan mentah-mentah oleh alamnya. Sehingga, alih-alih manusia Jawa memahami dirinya sebagai sebuah “res cogitans” yang mampu berefleksi tentang  kesadarannya yang berjarak dengan ruang, kesadaran orang Jawa adalah bagian kecil dari ruang. Eksistensi manusia Jawa menyatu dengan alamnya, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.

Melandaskannya pada bagaimana orang Jawa memiliki pandangan hidup maka hal inipun terkorelasi dengan konsepsinya terkait dengan kekuasaan dan kepemimimpinan. Pemaknaan kekuasaaan dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai kekuatan yang menyatu dengan alam, kekuasaan adalah energy ilahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi kosmos, sehingga pemaknaan konsepsi kekuasaan dipahami oleh orang jawa tidak hanya sebatas pada potensi mempengaruhi tindakan orang lain walaupun orang tersebut menentangnya atau juga kekuasaan bukan hasil dari relasi individu dengan individu atau kelompok lain, akan tetapi merupakan energi illahi yang meresapi kosmos, hal inilah dalam pandangan hidup orang jawa posisi peminpin (raja/presiden) pusat kosmos sekaligus pusat kekuasaan (Kresna, 2009)[6]. Oleh karena walaupun tekanan internal pengusung dari Koalisi merah putih, namun sebagai manusia Jawa Jokowi telah terinternalisi nilai-nilai budaya jawa yang kuat, yang mana pemahaman dan pemaknaan akan kekuasaan akan pula dimaknai oleh dirinya sendiri sebagai seorang Presiden sehingga cukup tepat jika langkah Jokowi ini dinilai sebagai langkah kuda.

Karekter budaya Presiden Jokowi, tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Jawa yang dinternalisasikan kepada dirinya. Penelitian Hildred Geertz[7] (1983) tentang keluarga Jawa mengungkapkan bahwa seoarang anak pada keluarga Jawa diajarkan untuk selalu hidup harmonis, jika sang anak tidak bertingkah laku baik maka akan mendapatkan sanksi, pelajaran penting yang harus dikuasai oleh anak sebagai bagian dari pertumbuhannya ialah bagaimana dan bilamana harus bertindak-tanduk dengan tata karma. Tata nilai pertama adalah “Hormat” dalam masyarakat jawa adalah wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, isin dapat diartikan sebagai malu, dan sungkan enggan ataupun canggung. Tata nilai kedua adalah rukun yakni  dapat menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial dengan memperkecil peluang konflik sosial dan pribadi dalam bentuk apapun. Usaha untuk mencapai rukun sering kali menjadi motivasi utama untuk membantu sanak saudara dalam keadaan sulit. Sehingga dalam masyarakat jawa seringkali kita dengan peribahasa “mangan ora mangan sing penting ngumpul” dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan “makan gak makan yang penting kumpul”. Jika kita maknai peribahasa tersebut terkandung filosofi hidup yang dalam, dimana mangan  (makan) merupakan kebutuhan pribadi, sedangkan ngumpul (kumpul) adalah kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya, merupakan kebuthan bermasyarakat sebagai makhluk sosial, oleh karenanya filosofis inilah bagian dari penguatan dan pengejawantahan konsep rukun dalam masyarakat Jawa. Sejurus dengan pemikiran tersebut, manusia sebagai mikrokosmos hidup bersama dan secara resiprokal membantu menjaga makrokosmos sehingga keseimbangan diantara mereka dapat berjalan dengan baik. Sistem moral sosial ini mengajarkan orang Jawa untuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan diri sendiri, dan berbuat baik, karena seluruh kehidupan manusia sudah dalam tatanan kosmos menuju suatu tujuan tertentu (kresna, 2009).

Dengan fakta dan realitas politik yang melingkari kepeminpinan Jokowi serta karakter Jawa yang membentuk tata nilai Presiden Jokowi memberikan pemahaman bagaimana langkah-langkah Presiden Jokowi cenderung kompromistis pada lingkaran terdekat hal ini lebih untuk menjaga rukun atau harmonisasi sosial politik pada mitra-mitra koalisi. Namun keharmonisasian ini  cenderung dapat disalahpahami sebagai sebuah ketertekanan politik, karena yang muncul kepermukaan adalah kebijakan-kebijakan yang kurang populis bagi masyarakat  di mata para lawan politiknya.

Pedoman tata nilai jawa membentuk karakter pemerintahan Jokowi, sehingga hal-hal terkait dengan proses berpikir dan pengambilan keputusan dilandasi atas pandangan hidupnya (world view) tentang kekuasaan,  kepemimpinan dan juga perilaku dalam nilai-nilai jawa terkadang sulit memahami langkah-langkah yang akan dilakukan terkait dengan pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang akan diputuskan karena begitu banyak aspek yang perlu di jaga harmonisasinya. Makrokosmos dalam pemikiran Jawa dipahami sebagai keberlangsungan hidup pada tiap-tiap individu, sehingga tatanan kehidupan sosial pun akhirnya harus diusahakan berjalan dengan harmonis, serasi dan seimbang.

######

[1] http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/tonggak-sejarah-baru-indonesia

[2] http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/078623558/Survei-Kepuasan-Masyarakat-terhadap-Jokowi-Merosot

[3] http://news.detik.com/read/2015/04/19/144344/2891514/10/survei-poltracking-485-publik-tak-puas-kinerja-pemerintah-jokowi-jk

[4] http://www.jokowicenter.com/2015/02/langkah-kuda/

[5] Aryaning Arya Kresna,  (2009)  Orang Jawa  dan Ruang Publik Politik, presentasi paper dalam International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok

[6] ibid

[7] Hildred Geertz,  (1983) Keluarga Jawa, Jakarta, Grafiti Press

* Artikel Ini dipublikasikan di Majalah Esquire Indonesia Edisi Agustus 2015

Kebebasan berpikir

 

Lingkungan sosial budaya yang kita dihadapi sangat beragam. Ada yang berjalan sesuai dalam arus pemikiran kita dan ada juga yang bertentangan. Persoalan-persoalan demikian akan dihadapi dalam segala kondisi pada lingkungan sosial budaya kita.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah bagaimana kita memahami kondisi sosial budaya yang beragam dalam lingkup kebebasan kita sebagai manusia. Berbicara tentang kebebasan, dalam konteks masyarakat Indonesia, saat ini mendapat tantangan keras dengan terjadinya pro dan kontra mengenai pemahaman kebebasan ini. Terdapat dua hal yang ingin coba dilihat dalam sebuah perpektif kebebasan, yakni kebebasan berpikir yang terimplemtasi dalam berpendapat atau melontarkan ide-ide serta pemikirannya dan yang kedua adalah kebebasan dalam bertindak. Untuk memahami kebebasan dalam lingkup masyarakat yang cukup beragam dalam hal ini Indonesia, inlah uraian singkat perbincangan Nana Sutisna dengan Bapak KH. Abdurrahman Wahid (64) atau biasa dikenal dengan Gus Dur, seorang tokoh nasional dan juga Presiden Republik Indonesia ke – 4, yang selalu berkecimpung dalam pembahasan tentang Demokrasi, Pluralisme serta Multikulturalisme.

Masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang multikultural, hal ini bukanya sebagai sebuah konsep di atas kertas tapi adalah sebuah pemikiran yang dituangkan oleh para pendiri bangsa ini yang pada akhirnya menjadi Undang-Undang Dasar sebagai suatu pedoman dalam bernegara serta bermasyarakat. Gus Dur menilai bahwa dalam memandang masyarakat dan budaya Indonesia kita harus merujuk pada Undang-undang Dasar sebagai acuan kita dan menurut konsepsi negara kita bahwa masayarakat Indonesia adalah masyarakat dengan budaya yang multikultur. Dalam pemahaman ini ada suatu keragaman dan ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang, oleh karena berdasarkan hal tersebut maka munculah suatu kebebasan dalam masyarakat yang mengekspresikan budayanya dalam bentuk ide-ide atau pemikiran dan serta ekpresi-ekpresi tindakan.

Gus Dur memandang bahwa harus dibedakan kebebasan dalam mengekspresikan pemikiran dengan kebebasan yang langsung pada tindakan atau perilaku. Dalam membedakan inipun tidak lepas dari acuan dari pedoman bernegara dalam hal ini Uudang-undang dasar. Negara menjamin setiap pemikiran yang ada, namun kalau tnndakan harus dilihat lagi apakan tindakan itu sudah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang dasar kita “ tutur Gus Dur.”

 

Dalam era sekarang Gus Dur berpendapat bahwa kebebasan kita sudah mulai terancam, dengan munculnya kelompok-kelompok yang ingin membuat Indonesia tergantung pada kelompok tertentu saja dan seolah-olah kebenaran hanya milik satu kelompok saja. Kebebasan dalam negara sudah ditundukan kepada kekuasaan.

P e r s i n g g a h a n . . .

Hari ini hujan begitu deras mengguyur kota Depok, yang membawa pada
perenungan serta menyadari bahwa kota inipun adalah tempat
bersinggah. Seiring dengan berbagai pengalaman serta perjalanan
kehidupan menghadirkan bermacam makna yang hadir di Kota ini.

Tujuh tahun sudah waktu yang dihabiskan di kota ini, beragam cerita
mengalir dalam detik-detik kehidupanku. Mulai dari pengembaraan
intelektual, perjalanan persahabatan atau romansa percintaan
memberikan makna dan kisahnya sendiri yang menemaniku di kota ini.

Depok, kota yang telah menemani untuk perjalanan kehidupanku. Kota
yang memberikan pandangan-pandangan serta pemahaman baru tentang
segala hal, negara, agama, cinta serta hal-hal yang lain memberikan
paradigma lain dalam berpikir.

Pertarungan intelektual, pergulatan pemikiran, dan konflik ego, telah
hadir di kota ini dalam memberikan evaluasi-evaluasi kedewasaan,
koreksi-koreksi perilaku serta revolusi pemikiran.

Tujuh tahun sudah “mereka” hadir dalam menemaniku. Akhirnya menyadari
bahwa ini sebuah persinggahan. .. Sebuah fase baru telah menanti untuk
mulai di tapaki, sebuah pendalaman atas apa yang di tempuh dalam
persinggahan. Kota ini memberikan seluruh rasanya pada aliran darah
dalam tubuh ini, kota ini pula telah memberikan sebuah kecintaanya
atas sebuah pengalaman hidup, dan kota ini pula yang mencoba
memberikan perhatiannya atas sebuah kedewasaan.

Tujuh tahun sudah…….

Depok…sebuah pengembaraan hidup…..

Nana Sutisna.(12/11/2007)

Setelah sekian lama tak bersentuhan dengan hal ini, mungkin saatnya kembali melakukan coretan dan oretan sekedar mengikat hal-hal yang ada dipikiran.

seperti yang lainnya, mungkin saat ini waktu mengulang kembali untuk berdisiplin diri dan istiqomah….semua diniatkan untuk mengharap Ridho-NYA.

 

BISMILLAH RAHMAN RAHHIM……..

L O V E   I T U  C I N T A

Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya

dan Cinta tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya

Cinta tidak mengawal sesiapa dan Cinta tidak boleh dikawal sesiapa, kerana Cinta lengkap dengan sendirinya.

Dan apabila engkau bercinta engkau tidak seharusnya berkata kejadian adalah hatiku, sebaliknya berkatalah aku adalah kejadian

Dan janganlah engkau berfikir engkau boleh menentukan arus Cinta kerana seandainya cinta memberkatimu ia akan menentukan arah perjalananmu

 

Kahlil Gibran,…

GERAKAN ISLAM:

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA (*)

II.1. Awal Penyebaran Islam di Indonesia

Perjalanan penyebaran  keagamaan—dalam hal ini Islam—telah lama menyebar di wilayah nusantara, banyak kalangan ahli sejarah yang mencoba membuat atau meneliti sejak kapan Islam datang dan menyebar ke seluruh nusantara atau masuk ke Indonesia. Pijnappel, ahli sejarah dari Universitas Leiden, adalah orang pertama yang mengemukakan sebuah teori bahwa sumber Islam di kepulauan melayu-Indonesia adalah anak benua India selain Arab dan Persia yang mengaitkannya dengan alasan bahwa orang Islam yang bermazhab syafi’i menetap di kawasan Gujarat dan Malabar lalu bermigrasi serta membawa Islam ke wilayah nusantara.

Teori ini di revisi oleh  Snouck Hurgronje, seorang ahli dari Belanda,  yang mencoba menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia, ia menyatakan bahwa ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota peabuhan di India Selatan, sejumlah muslim Dhaka banyak yang hidup disana sebagai perantara dalam perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara—datang di kepulauan melayu sebagai penyebar Islam pertama. Berikutnya Snouck Hurgronje berteori bahwa mereka diikuti oleh orang arab terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammab SAW. Dengan memakai gelar Sayyid atau Syarif, yang menjalankan dakwah Islam, baik sebagai para ustad maupun sultan. Snouck Hurgronje tidak menyebutkan secara eksplisit bagian mana dari India Selatan yang dia lihat sebagai sumber Islam di Nusantara. Meskipun demikian, dia berpendapat bahwa abad ke-12 merupakan waktu yang paling mungkin bagi saat awal islamisasi di kepulauan Melayu Indonesia.17

Teori lain yang juga mencoba menjelaskan asal kedatangan Islam ke nusantara adalah teori yang dikemukan oleh Morrison yang menyatakan bahwa asal-usul Islam dari Gujarat tidak terlalu kuat, Morrison berpendapat bahwa bukti-bukti peninggalan seperti batu nisan di beberapa bagian nusantara mungkin dari Gujarat, akan tetapi tidak selalu bahwa Islam juga harus berasal dari kawasan Gujarat. Morrison menyatakan bahwa Islam diperkenalkan ke Kepulauan Melayu Indonesia oleh para juru dakwah dari Coramandel pada akiir abad ke 13.18

Teori Morrison ini adalah merupakan pengulangan dari apa yang pernah ditulis oleh Arnold jauh sebelum Morrison mengeluarkan teorinya tentang peranan juru dakwah dari Coramandel, akan tetapi hal yang coba dijelaskan oleh Arnold adalah bahwa Coramandel dan Malabar bukanlah satu-satunya tempat asal kedatangan Islam, melainkan juga wilayah arab. Dalam pandangan Arnold, para pedagang arab juga membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan barat-timur semenjak awal abad ke-7 dan ke-8. meskipun tidak ada catatan sejarah ihwal penyebaran Islam kepada kaum pribumi. Argumentasi yang mungkin masuk akal adalah jika mempertimbangkan, misalnya, fakta yang disebutkan sebuah sumber Cina bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7 seorang arab pernah menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera (Azra, 2002:27).

Dalam pemaparan mengenai kedatangan Islam ke wilayah nusantara Indonesia telah banyak para ahli yang mencoba menjelaskan asal atau tempat dimana Islam mulai memasuki wilayah Nusantara. Jalur perdagangan adalah merupakan faktor dominan dalam masuknya Islam kewilayah Nusantara hal ini lebih dimungkinkan karena kegiatan perdagangan yang cukup intensif dalam interaksi sesama pedagang yang berbeda latar belakang yang memungkin adanya pertukaran pengetahuan ataupun kontak kebudayaan, sehingga Islam dapat cepat dikenal dikalangan pedagangan dan penduduk pribumi.

Prof. Azra (2002:22) mengemukakan ada empat hal utama yang disampaikan oleh historiografi lokal mengenai bagaimana Islam dapat bertemu dan di kenal oleh kalangan pribumi nusantara adalah pertama, Islam di nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan juru dakwah “profesional”. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah para penguasa. Keempat, sebagaian besar juru dakwah profesional datang di nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. dapat diketahui bahwa dengan rujukan yang coba diuraikan oleh historiografi lokal tersebut dapat diketahui bahwa setelah abad ke-12 pengaruh Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia menjadi lebih jelas dan kuat. Oleh karena itu, islamisasi tampaknya baru mengalami percepatan selama abad ke-12 sampai ke-16.

Setelah datang dan dikenalnya Islam di kawasan nusantara, maka hal yang  utama dalam proses berkembangnya Islam adalah proses penyebarannya itu sendiri. Telah dapat diketahuai bahwa dalam konteks perdaganganlah Islam mulai dikenal di nusantara, karena para pedagang yang juga sekaligus juru dakwah mulai membawa dan mengenalkan Islam ke wilayah nusantara bersamaan dengan dagangan mereka.

Proses budaya yang bisa dikatakan sebagai salah satu faktor dari proses menyebarnya Islam kepada masyarakat adalah adanya  perkawinan campur antara para pedagang muslim dengan penduduk pribumi sehingga membentuk keluarga-keluarga muslim yang merupakan nukleus komunitas muslim, yang selanjutnya memainkan peranan besar dalam menyebarkan Islam. Proses perkawinan campur tidak hanya dilakukan oleh pedagang muslim, akan tetapi dilakukan juga oleh kaum sufi19 atau juru dakwah keliling yang menikahi sejumlah anak gadis kaum bangsawan melayu-Indonesia sehingga memberikan prestise dan aura kesucian dari kharisma keagamaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Thomas W.Arnold mengenai metode da’wah di Indonesia.20

Hal Utama yang diungkapkan diatas yang mempengaruhi penyebaran Islam di Nusantara adalah adanya peran juru Dakwah “profesional” dan juga adanya hubungan dengan penguasa di nusantara dengan melihat pada orang yang pertama masuk Islam adalah para penguasa, sehingga berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa peranan kekuasaan dan otoritas politik semakin tinggi di kuasai oleh golongan Islam, seperti halnya pada saat penaklukan kerajaan majapahit dan lalu dibangunlah kerajaan Islam demak di pulau Jawa dengan peranan yang cukup penting dari para wali songo atau penyebar Islam di Tanah Jawa.

Penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama yang memiliki jaringan cukup luas dalam tingkatan lokal maupun global,21 hal ini telah memperlihatkan bahwa Asia Tenggara, dalam hal ini Indonesia, bukanlah entitas terpisah dari Dunia Muslim. Penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para ulama yang dengan latar belakang keilmuan dan pemahaman keislaman yang beragam telah membawa pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia.


17 Azyumardi azra, jaringan lokal dan Global Islam Nusantara( Bandung: Mizan, 2002) Hlm 25.

18 op cit

19 kaum sufi dalam pandangan Anthony Jhons  membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan Islam di Indonesia, hal ini dikerenakan bahwa keberhasilan kaum sufi dalam mengislamkan banyak penduduk di kepulauan Melayu Indonesia disebabkan oleh kemampuan kaum sufi dalam menyajikan Islam dalam bentuk yang menarik penekanan kontinuitas Islam dengan kepercayaan dan praktik tradisional—teosofi sinkretik yang akrab dengan orang Indonesia– daripada perubahan (Azra:2002).

20 Thomas W. Arnold, sejarah da’wah Islam, Jakarta, Bumirestu: 1979. hlm 317-354. menjelaskan mengenai metode  dakwah yang dilakukan oleh kalangan umat Islam di berbagai kepulauan di Indonesia.

21 Mengenai peran ulama dalam penyebaran Islam di Indonesia yang mempunyai jaringan ulama secara global dan lokal, lihat Azzyumardi Azra,jaringan global lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan,2002).

——————————————————-

*. Tulisan ini disalin dari Skripsi Nana Sutisna, berjudul “Tafsir Islam dari Utan kayu; Suatu kajian tentang inpretasi Islam pada komunitas Jaringan Islam Liberal,2005, Jakarta.

 


Pendidikan dan pembangunan karakter :

Nana Sutisna

 “panggilan sejati manusia (Man’s ontological Vocation) itu adalah menjadi pelaku, bukan penderita yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas” (Paulo Freire; Politik Pendidikan 1999).

Setiap tanggal dua (2) Mei bangsa Indonesia mengenalnya dengan hari pendidikan nasional. Peringatan hari pendiidkan nasional ini merupakan bagian dari alur sejarah bangsa Indonesia melalui seorang Ki Hajar Dewantara yang merintis sekolah untuk rakyat Indonesia yang tak pernah mendikotomi jenis sekolah yang dirintisnya, akan tetapi selalu mengedepankan cita-cita luhur tentang pendidikan untuk semua kalangan dan juga membangu mental dan karakter bangsa untuk pembebesan dan kemerdekaan Indonesia.

Upacara, seremonial dan juga pengingatan terhadap tanggal dua (2) Mei sebagai hari pendidikan nasional apakah tujuannya hanya untuk mengenang tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara? Saya pikir lebih dari sekedar mengenang Ki Hajar Dewantara, ada yang lebih dari itu, bagaimana bangsa ini selalu diingatkan tentang realitas dunia pendidikan dari masa ke masa serta peranan sektor-sektor pendidkan terutama sekolah, sebagai praksis dan implementasi pendidikan memberikan kualitasnya pada rakyat Indonesia.

Sekedar ingin menyegarkan memori, bahwa bangsa ini mempunyai tujuan yang mulia tentang pendidikan rakyatnya, bagaimana pendiri bangsa ini merumuskannya dalam pembukaan UUD 1945 sebagai suatu tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak hanya itu bangsa ini mengaturnya dalam UU sistem pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tersurat dengan jelas bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Negeri-Swasta: Pilihan dan Saling Melengkapi untuk penguatan karakter

Praktik pendidikan yang implementasinya tercermin di dunia sekolah akan memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan bekerja di bangsa ini. Berdasarkan amanat pendiri bangsa serta komitmen konstitusi maka pemerintah wajib menyediakan infra dan suprastruktur pendidikan. Hadirnya sekolah-sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah dikenal dengan sekolah negeri merupakan bentuk kewajiban negara dalam menyediakan infrastruktur pendidikan, namun hal ini harus juga di imbangi dengan kualitas pengajaran yang baik serta penghargaan yang layak buat para aktor-aktor pendidikan seperti guru.

Persepsi bahwa praksis pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah belum begitu maksimal dari berbagai segi, sebagai contoh kurikulum yang tidak mengacu pada potensi dan kemampuan peserta didik, pemerataan kualitas pendidikan yang masih timpang dan infrastruktur dan fasilitas yang kurang memadai. Terlepas dari kondisi tersebut, hal utama dalam pranata pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya atau manusia Indonesia yang berkarakter serta memiliki budi pekerti.

Dalam dunia pendidikan, di sisi lain masyarakat diberikan kebebasan untuk membangun sarana sekolah, hal ini lah yang mencoba menutupi kelemahan infrastruktur dan fasilitas yang memang belum terdapat pada beberapa sekolah pemerintah. Tantangan yang dihadapi publik adalah sekolah-sekolah swasta memiliki standar harga tersendiri, semakain sarana dan fasilitas baik maka standar harga semakin tinggi.

Benang merah yang dapat ditarik tentang dikotomi jenis sekolah lebih merupakan pilihan-pilihan dalam praksis pendidikan yang ada dimasyarakat, dan hal tersebut diharapkan memberikan rasa saling mendukung dan melengkapi. Tanggungjawab besar institusi pendidikan tetaplah focus pada satu hal yakni tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa guna membangun karakter manusia Indonesia dalam mengisi pembangunan.

Negeri-Swasta: pendidikan yang membebaskan

Merefleksikan keberadaaan sekolah negeri dan sekolah swasta dengan merujuk pada tujuan hadirnya pendididkan bagi bangsa ini untuk membangun manusia Indonesia yang berkarakter, oleh karenanya kurikulum dan tenaga pengajar serta sisitem pendidikan yang berkualitas menjadi kewajiban utama untuk dipenuhi.

Merefleksikan mengenai apa yang ditelah dihasilkan secara kualitas, maka saya akan berkata kualitas pendidikan nasional  kita  adalah  kualitas pendidikan Indonesia hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini menurut pendapat saya hanya membuat anak didik itu pintar akan tetapi tidak cerdas. Seperti yang diungkapkan oleh pakar pendidikan, DR. Arief Rahman, bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia dinilai “malas” untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistik. Selama ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual (kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti Spiritual, Emosional, Sosial maupun Jasmani.

Pembunuhan kreatifitas dan berkarya dalam pola yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia lebih disebabkan karena adanya paradigma yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang saat ini sedang gencar-gencarnya di Indonesia. Indikator kepintaran yang dipakai merupakan bentuk eksploitasi pemikirin dari anak didik, sehingga yang terjadi adalah penjejalan ilmu sebagai suatu barang jadi. Sistem pendidikan ini dalam pandangan Paulo Freire disebut dengan “sekolah model bank”. Sekolah model bank’ adalah istilah Freire untuk sekolah-sekolah formal pada umumnya yang seolah menabung dan menjejali ilmu pengetahuan sebagai barang jadi bagi para murid. Dalam sekolah model bank ini murid hanya penerima pasif dari ilmu yang sudah jadi, baku, dan tidak menyentuh kehidupan nyata sehari-hari mereka.

Pendidikan sekolah dibiarkan hanya mengunakan indikator kepintaran, seperti Ujian-ujian yang dilaksanakan, mengukur para siswa dari nilai-nilai kuantitatif,  hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi pendidikan yang menindas bukan pendidikan yang membebaskan. Saya tidak keberatan IP menjadi ukuran, akan tetapi bukan hanya IP, harus diukur secara holistik semuanya, seperti apa yang diungkapkan pakar pendidikan, DR Arief Rahman. Pendidikan janganlah dibiarkan menjadi suatu yang komersil, kalau seperti ini maka pendidikan hanyalah bagi mereka yang mempunyai ekonomi yang kuat, sedangkan bagi mereka yang miskin pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Saya sangat merasakan bahwa pendidikan di indonesia itu sulit di jangkau oleh masyarakat miskin, dan pendidikan semakin meminggirkan kaum kelas bawah. Oleh Karenanya bukalah akses pendidikan untuk semua, biarkan keberadaan jenis-jenis sekolah untuk saling mendukung dengan tetap mengedepankan akses terbuka bagi semua kalangan.

Apapun jenis institusi pendidikan, tetap harus terfokus pada pemberian kesempatan bagi semua kalangan dan menjadikan pendidikan sebagai sarana kemerdekaan personal. Paulo Freire menawarkan suatu alternatif mengenai pendidikan yang membebaskan bukan suatu pendidikan yang menindas. Solusi yang  ditawarakan  Paulo Freire terlebih untuk mengatasi problema penindasan adalah model pendidikan yang membebaskan  yang disebutnya sebagai konsientisasi (kesadaran). Konsientisasi mengacu pada proses dimana manusia, bukan sebagai resipen tetapi sebagai subyek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosio-kultural yang membentuk kehidupan mereka dan kemampuan untuk merubah kenyatan itu sendiri.  Melalui paradigma inilah diharapkan menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter dan budi pekerti.